Ini
adalah salah satu kelemahan kita, ‘budaya Indonesia yang suka dengan hadiah’.
Karena itu mereka (baca: penjajah) selalu memberi kita hadiah. Akibatnya bangsa
ini merasa berhutang budi kepada mereka. Sehingga kita tidak bisa mengelak
ketika mereka meminta, dimana banyak merugikan. Hasil bumi pun dikeruk habis, kebijakan-kebijakan
yang pro rakyat dirubah dan diganti, dan lebih parahnya lagi sampai-sampai
masalah kurikulum pesantren pun minta diubah. Dimana pesantren dan
santri-santri kita cukup diberi pelajaran bahasa Arab atau Inggris, sementara
masalah jihad atau usroh dilarang, musti nurut kalo gak mau kena cap sebagai
‘pesantren teroris’ atau ‘santri teroris’. Astagfirullah.
Dan
orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah
yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila
didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya
(ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan
amal-amalnya dengan cukup dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya. (QS. An
Nuur:39)
Pada
masa lampau, bangsa Belanda memberikan hadiah berupa seonggok kekuasan, para
wanita, dan secuil harta kepada bangsa ini, dimana segelintir manusia negeri
ini menerimanya, namun lebih banyak menolaknya. Setelah itu, mengatas namakan
dialog dan kompromi, mereka meminta para penerima itu untuk patuh dan taat
kepada mereka. Dan yang tidak mematuhinya di cap sebagai ekstrimis,
pemberontak, pembuat onar, dan kata-kata yang kalau pada saat ini hampir sama
dengan kata teroris. Dan diantara manusia yang dihina, dicaci maki, dan diburu
itu adalah: Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin , Sisingamangaraja,
,Cut Nya’ Din, Kapitan Pattimura, dan banyak lagi para pejuang serta pahlawan
yang kiranya tidak dapat satu persatu gue sebutkan.
Katakanlah,
"Hai Ahli kitab, apakah kamu memandang kami salah, hanya lantaran kami
beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang
diturunkan sebelumnya, sedang kebanyakan diantara kamu benar-benar orang yang
fasik?". (QS. Al. Maaidah:59)
Mungkin
kita sepakat, “yang namanya rezeki jangan ditolak!”. Tapi bukankah rezeki itu
harus dilihat dari berbagai aspek, halal dan baik, darimana dan kemana, dan tak
kalah penting adalah ‘niat’, sebab bukankah segala sesuatu itu tergantung dari
niatnya?. Dan ketika soal ini dipertanyakan, kita pun juga coba berupaya
sepakat “Saya kira tak usahlah didengar kata-kata itu”. Lantas mengalihkan
persoalan yang dinilai bersahabat dan netral.
Kita
harus mencermati hadiah. Ketika menerima atau memberikan suatu hadiah kepada
seseorang (semisal kepada anak kita.kita). Semestinya tidak mengajukan berupa
persyaratan. Kita harus memberikan hadiah itu sebagaimana mestinya, sebagai
bentuk apresiasi ataupun penghormatan, murni serta ikhlas, tanpa berharap ia
yang diberi hadiah balik memberi sesuatu yang setimpal apalagi lebih. Cukuplah
kita berharap, semoga apa yang kita beri itu menyenangkan ia serta bermanfaat dan
tidak mendatangkan keburukan.
Oleh
karena itu berhati-hatilah atas hadiah. Termasuk salah satunya adalah hadiah
berupa ‘puja-puji’, dimana kadang membawa penyakit jiwa diantaranya ‘gila
hormat’. Apalagi terhadap hadiah dimana didalamnya mengandung banyak
‘persyaratan’. DAN TAHUKAH KITA!. Hadiah berharga telah diberikan kepada
kita sekitar 1400 tahun yang lampau: “Aku tinggalkan pada kamu dua perkara,
kamu tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh kepadanya, yaitu
Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya.”(HR. Imam Malik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar