26/07/12

HILANGKAN BUDAYA INDONESIA yang SUKA dengan HADIAH



Ini adalah salah satu kelemahan kita, ‘budaya Indonesia yang suka dengan hadiah’. Karena itu mereka (baca: penjajah) selalu memberi kita hadiah. Akibatnya bangsa ini merasa berhutang budi kepada mereka. Sehingga kita tidak bisa mengelak ketika mereka meminta, dimana banyak merugikan. Hasil bumi pun dikeruk habis, kebijakan-kebijakan yang pro rakyat dirubah dan diganti, dan lebih parahnya lagi sampai-sampai masalah kurikulum pesantren pun minta diubah. Dimana pesantren dan santri-santri kita cukup diberi pelajaran bahasa Arab atau Inggris, sementara masalah jihad atau usroh dilarang, musti nurut kalo gak mau kena cap sebagai ‘pesantren teroris’ atau ‘santri teroris’. Astagfirullah.

Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amalnya dengan cukup dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya. (QS. An Nuur:39)

Pada masa lampau, bangsa Belanda memberikan hadiah berupa seonggok kekuasan, para wanita, dan secuil harta kepada bangsa ini, dimana segelintir manusia negeri ini menerimanya, namun lebih banyak menolaknya. Setelah itu, mengatas namakan dialog dan kompromi, mereka meminta para penerima itu untuk patuh dan taat kepada mereka. Dan yang tidak mematuhinya di cap sebagai ekstrimis, pemberontak, pembuat onar, dan kata-kata yang kalau pada saat ini hampir sama dengan kata teroris. Dan diantara manusia yang dihina, dicaci maki, dan diburu itu adalah: Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin , Sisingamangaraja, ,Cut Nya’ Din, Kapitan Pattimura, dan banyak lagi para pejuang serta pahlawan yang kiranya tidak dapat satu persatu gue sebutkan.

Katakanlah, "Hai Ahli kitab, apakah kamu memandang kami salah, hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang kebanyakan diantara kamu benar-benar orang yang fasik?". (QS. Al. Maaidah:59)

Mungkin kita sepakat, “yang namanya rezeki jangan ditolak!”. Tapi bukankah rezeki itu harus dilihat dari berbagai aspek, halal dan baik, darimana dan kemana, dan tak kalah penting adalah ‘niat’, sebab bukankah segala sesuatu itu tergantung dari niatnya?. Dan ketika soal ini dipertanyakan, kita pun juga coba berupaya sepakat “Saya kira tak usahlah didengar kata-kata itu”. Lantas mengalihkan persoalan yang dinilai bersahabat dan netral.

Kita harus mencermati hadiah. Ketika menerima atau memberikan suatu hadiah kepada seseorang (semisal kepada anak kita.kita). Semestinya tidak mengajukan berupa persyaratan. Kita harus memberikan hadiah itu sebagaimana mestinya, sebagai bentuk apresiasi ataupun penghormatan, murni serta ikhlas, tanpa berharap ia yang diberi hadiah balik memberi sesuatu yang setimpal apalagi lebih. Cukuplah kita berharap, semoga apa yang kita beri itu menyenangkan ia serta bermanfaat dan tidak mendatangkan keburukan.

Oleh karena itu berhati-hatilah atas hadiah. Termasuk salah satunya adalah hadiah berupa ‘puja-puji’, dimana kadang membawa penyakit jiwa diantaranya ‘gila hormat’. Apalagi terhadap hadiah dimana didalamnya mengandung banyak ‘persyaratan’. DAN TAHUKAH  KITA!. Hadiah berharga telah diberikan kepada kita sekitar 1400 tahun yang lampau: “Aku tinggalkan pada kamu dua perkara, kamu tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh kepadanya, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya.”(HR. Imam Malik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar